3. Hak-hak Pekerja Outsourcing (Alih Daya)

Pertanyaan :
Hak-hak Pekerja Outsourcing (Alih Daya)
Saya sudah kerja 11 tahun di perusahaan persero dan sudah dua perusahaan outsourcing yang telah menampung saya. Perusahan outsourcing kedua baru satu tahun. Dan ini akan diperpanjang cuma 3 bulan dari satu tahun sebelumnya. Pertanyaannya: 1. Kalau kerja hari minggu dan hari besar apa saya mendapatkan uang lembur (jenis pekerjaan saya satpam)? 2. Apakah sah dalam hukum bila kita tanda tangan kontrak kerja yang perusahaan outsourcing-nya menyalahi aturan dinas tenaga kerja? 3. Apa sih sebenarnya hak-hak tenaga kerja? 4. Apa ada lembaga bantuan hukum yang bisa membela tenaga kerja yang membutuhkannya kalau tenaga kerja tersebut miskin?
Jawaban :

Pertanyaan Saudara Antok mengenai outsourcing cukup banyak dan sangat detail, termasuk mengenai hak-hak/kewajiban tenaga kerja (:pekerja/buruh) dalam “outsourcing system”. Sebelum fokus menjawab pertanyaan Saudara, pada bagian awal, saya ingin memberikan sedikit wawasan mengenai outsourcingtersebut, termasuk makna outsourcing dan sistem outsourcing versi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).

Menurut ahli bahasa, Peter Salim (dalam kamus The Contemporary English- Indonesian Dictionary-2006, p.1579) istilah outsourcing atau outsource, outsourced, outsources (Bisnis), diterjemahkan sebagai membeli tenaga kerja atau suku cadang dari sumber perusahaan lain.

Sedangkan, menurut Bryan A. Garner (dalam Black’s Law Dictionary,eighth edition, 2004, p. 1136) (Outsourcing agreement, an agreement between a business and a service provider in which the service provider promises to provide necessary service, especially : data processing, and information management, using its own staff and equipment, and usually, at its own facilities”).

Merujuk pada pengertian-pengertian itu, makna secara umum “outsourcing” adalah salah satu bentukperjanjian-perjanjian melakukan pekerjaan (overeenkomsten aan het werk te doen, agreement to do work) antara suatu bisnis (perusahaan user company) dengan perusahaan lain (yakni, perusahaan outsourcing atau vendor/service provider) untuk mengalihdayakan suatu sumber daya baik -dilakukan- oleh manusia atau dengan suatu –suku cadang– peralatan tertentu.

Di dalam peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan, khususnya UU Ketenagakerjaan, sebenarnya tidak dikenal adanya istilah dan –bahkan- sistem outsourcing.

Sering ada (misalnya) demonstasi atau gerakan buruh yang menuntut “Hapuskan Outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan”, menurut hemat saya, karena –memang- tidak ada istilah dan sistem outsourcingdalam UU dimaksud, jadi tidak ada yang perlu dihapuskan.

Yang ada (dalam UU Ketenagakerjaan), adalah “penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain”, yang saat ini di kalangan masyarakat awam (khususnya pengusaha), disebut dengan istilah alih daya, atau alih daya tenaga kerja dari luar (outsource), yang misi-nya adalah adanya perlakuan yang sama (dalam syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban) di tempat kerja yang sama, walau berbeda entitasnya (vide Pasal 65 ayat [4] dan penjelasan Pasal 66 ayat [2] huruf c UUKetenagakerjaan).

Maksudnya,

–     penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, adalah penyerahan suatubagian, bagian-bagian atau sub-bagian pekerjaan dari -suatu perusahaan pemberi pekerjaan, termasuk perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh (dalam hal ini -dhi- “perusahaan persero”) kepada perusahaan penerima pemborongan (vendor) dan/atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (service provider) yang Saudara sebut “perusahaan outsourcing”, baik melaluiperjanjian pemborongan pekerjaan, atau melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh (vide Pasal 64 UU Ketenagakerjaan).

–     kata “sebagian”, diartikan bahwa tidak semua rangkaian dan jenis pekerjaan dari suatu perusahaan pemberi pekerjaan dapat diserahkan kepada vendor atau service provider (dhi. “perusahaanoutsourcing”), akan tetapi hanya kegiatan penunjang perusahaan (supporting) secara keseluruhan dari rangkaian proses produksi, dan/atau hanya kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi yang bisa diserahkan (vide Pasal 65 ayat [2] huruf c dan Penjelasan Pasal 66 ayat [1] UU Ketenagakerjaan).

–     bahwa yang diserahkan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh adalah “pekerjaan“ (yakni sekumpulan kegiatan atau aktivitas, baik dalam rangkaian proses produksi, maupun dalam pelaksanaan usaha secara keseluruhan) tanpa menyebut jumlah orang -tenaga kerjanya.

Artinya, yang diperjanjikan dalam “outsourcing agreement” bukan perjanjian sewa-menyewa manusiaatau –bahkan- bukan jual beli tenaga kerja atau sumber-daya seperti dalam makna outsourcing yang sebenarnya (sebagaimana tersebut dalam kamus), akan tetapi haruslah memperjanjikan “paket pekerjaan” atau “sub-pekerjaan” dengan suatu nilai tertentu atau harga paket yang disepakati dengan berbagai varian jumlah tenaga kerja dan -sesuai- kompetensinya.

Dengan perkataan lain, “outsourcingversi UU Ketenagakerjaan, tidak boleh ada perjanjian untukpenyerahan sejumlah pekerja/buruh (tenaga kerja) dari vendor atau service provider untukdiperintahlangsung oleh management User Company yang ditentukan jumlah(orang)-nya dan dihargai orang demi orang dengan persentase fee tertentu -per-orang– kepada vendor atau service provider. Kalau ada praktik semacam yang terakhir ini, maka inilah yang -oleh Serikat Pekerja- disebut sebagai human trafficking atau perbudakan modern, bahkan eksploitasi manusia oleh sesama manusia (exploitation de l’homme par l’homme).

Terkait dengan pertanyaan Saudara mengenai hak-hak (dan kewajiban) tenaga kerja outsourcing, dapat saya jelaskan, sebagai berikut:

1. Hak atas “uang lembur” pada hari istirahat mingguan dan “hari besar” bagi tenaga kerja outsourcing, terlebih dahulu perlu saya jelaskan beberapa hal (terkait), bahwa berdasarkan Pasal 79 ayat (1) jo ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan, pengusaha wajib memberi waktu istirahat mingguan(weeklyrest) kepada pekerja/buruh, masing-masing:

–     1 (satu) hari untuk pola waktu kerja 6:1, dalam arti enam hari kerja dan satu hari istirahat mingguan;

–     2 (dua) hari untuk pola waktu kerja 5:2, dalam arti lima hari kerja dan dua hari istirahat mingguan;

Merujuk pada ketentuan Pasal 79 ayat (2) huruf b jo 77 ayat (2) dan Pasal 78 ayat (2) UUKetenagakerjaan tersebut, pengertian hari istirahat mingguan di sini, bukan dan tidak berarti harus hari Minggu, atau hari Sabtu dan Minggu. Oleh karena itu, saya meluruskan pernyataan Saudara “bekerja hari Minggu”, mungkin maksud Saudara: bekerja pada hari istirahat mingguan. Nah kalau demikian, hari istirahat mingguan tersebut tidak harus hari Minggu atau Sabtu-Minggu, akan tetapi dapat ditetapkan di hari mana saja dan hari apa saja.

Jadi, apabila pekerja/buruh diperintahkan (dan disepakati) bekerja di hari Minggu belum tentu harus dibayar upah kerja lembur (UKL), kecuali hari Minggu tersebut kebetulan adalah merupakan hari istirahat mingguan baginya dan pekerja/buruh yang bersangkutan dipekerjakan pada hari istirahat mingguan dimaksud, maka jika demikian harus diperhitungkan upah kerja lembur-nya (UKL).

Berlainan halnya dengan hari libur resmi (yang istilah Saudara, “hari besar”). Menurut Pasal 85 ayat (1) s/d ayat (3) UU Ketenagakerjaan, bahwa –pada hakikatnya- pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. Namun demikian (ada pengecualian), bahwa Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat -suatu- pekerjaan harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus-menerus, atau pada keadaan lainberdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Konsekuensinya, pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi termasuk untuk pekerjaan job “Satpam”, wajib membayar upah kerja lembur (UKL).

Besarnya hak upah kerja lembur pada hari istirahat mingguan dan hari libur resmi, diperhitungkan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 huruf b dan huruf c Kepmenakertrans No. Kep-102/Men/VI/2004, yakni :

–     Pola 6:1, untuk 7 (tujuh) jam pertama = 2 x upah per-jam (UPJ), dan jam kedelapan = 3 x UPJ, serta (bila masih berlanjut) jam sembilan dan sepuluh = 4 x UPJ. Kecuali, bila lembur pada hari kerja terpendek, diperhitungkan mulai dari 5 (lima) jam pertama = 2 x UPJ, dan jam keenam = 3 x UPJ, serta (bila masih berlanjut) jam ketujuh dan kedelapan = 4 x UPJ

–     Pola 5:2, untuk 8 (delapan) jam pertama = 2 x UPJ, dan jam kesembilan = 3 x UPJ, serta (bila masih berlanjut) jam kesepuluh dan sebelas = 4 x UPJ.

–     UPJ = 1/173 x upah (upah pokok dan tunjangan tetap). Namun, apabila komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap serta tunjangan tidak tetap, maka dasar UPJ, adalah nilai terbesar antara [upah pokok + tunjangan tetap] atau [75% x (upah pokok + tunjangan tetap + tunjangan tidak tetap)]

2. Hak dan kewajiban tenaga kerja dalam penandatanganan “kontrak kerja” (asumsi saya, maksudnya: PKWT) yang menyalahi “aturan dinas tenaga kerja”  (mungkin maksudnya, peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan), berdasarkan Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) hanya dapat diperjanjikan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu (jadi sementara sifatnya).

Dengan demikian, kalau Saudara tanda tangan kontrak kerja (PKWT) dan menyalahi ketentuan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan yakni pekerjaan tertentu yang dapat dibuat (diperjanjikan) melalui PKWT, maka menurut Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan, -dalam hal ini menyalahi ketentuan mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan tertentu (yang boleh di-PKWT-kan)-, maka demi hukum –berubah- menjadi PKWTT (permenent). Dengan demikian, apabila Saudara telah dipekerjakan (dan ditempatkan) di perusahaan persero (sebagai user) selama lebih dari 10 tahun -pertama-, maka –jika memenuhi syarat hubungan kerja-, (dapat) dianggap sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) di perusahaan vendor/service provider yang pertama tersebut, dan -tentu- seharusnya berhak atas “pesangon” saat berakhirnya hubungan kerja dimaksud.

3. Berkenaan dengan hak-hak tenaga kerja outsourcing (yang nota bene non-organik), pada umumnya sama saja hak-haknya dengan tenaga kerja organik di perusahaan user.

Hak-hak tenaga kerja (termasuk pekerja/buruh dalam hubungan kerja) yang diatur dan dituangkan dalam UU mengenai Ketenagakerjaan, relatif sangat banyak. Dapat saya contohkan (hak-hak langsung) secara berurut, antara lain misalnya:

–     hak non-diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Dalam arti, pekerja/buruh tidak boleh dibedakan dalam proses rekruit (khususnya dalam hubungan kerja) atas dasar suku, agama, ras, atau etnis tertentu, dan menolak bagi yang berbeda (Pasal 5 UU Ketenagakerjaan).

–     hak memperoleh perlakukan dan hak-hak yang sama di tempat kerja -tanpa diskriminasi- (Pasal 6 jo Pasal 65 ayat [4] dan Pasal 66 ayat [2] huruf c UU Ketenagakerjaan beserta penjelasannya).

–     memperoleh peningkatan dan pengembangan serta pengakuan kompetensi kerja (Pasal 11 dan Pasal 18 jo Pasal 23 UU Ketenagakerjaan).

–     memperoleh kesempatan yang sama dalam memilih/mendapatkan pekerjaan, pindah kerja dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri (Pasal 31 jo Pasal 88 UUKetenagakerjaan);

–     memperoleh upah dan/atau upah kerja lembur apabila dipekerjakan melebihi waktu kerja normal, atau bekerja lembur pada hari istirahat mingguan atau hari libur resmi (Pasal 1 angka 30 dan Pasal 78 ayat [2] jo Pasal 77 ayat [2] UU Ketenagakerjaan).

–     hak menunaikan ibadah (termasuk ibadah dalam jangka waktu yang lama) dengan hak upah (Pasal 81 jo Pasal 84 UU Ketenagakerjaan);

–     hak untuk tidak bekerja pada saat (sakit) haid –khusus bagi wanita-, walaupun no work no pay(Pasal 81 UU Ketenagakerjaan)

–     hak cuti hamil dan melahirkan (termasuk gugur kandung) dengan hak upah (Pasal 82 jo Pasal 84 UU Ketenagakerjaan);

–     hak dan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja (K3), perlindungan moral dan kesusilaan serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Pasal 86 ayat [1] UU Ketenagakerjaan jo Pasal 3 ayat [1] UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja);

–     hak jaminan sosial tenaga kerja (Pasal 99 ayat [1] UU Ketenagakerjaan jo Pasal 3 ayat [2]jo Pasal 6 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja);

–     berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja sesuai kertentuan (Pasal 104 UUKetenagakerjaan jo Pasal 5 UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh);

–     hak mogok kerja sesuai prosedur (Pasal 137 dan Pasal 138 UU Ketenagakerjaan)

–     hak memperoleh “pesangon” bila hubungan kerjanya PKWTT atau dianggap –dan memenuhi syarat- PKWTT (Pasal 156 ayat [1] UU Ketenagakerjaan). dan lain-lain.

4. Mengenai hak atas bantuan hukum bagi tenaga kerja, perlu dipahami, bahwa saat ini telah ada UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (“UU Bankum”) yang memberikan jaminan hak konstitusional kepada setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Dengan UU Bankum tersebut, negara (RI) bertanggung-jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin yang menghadapi masalah hukum untuk mendapatkan akses keadilan.

Bantuan hukum kepada masyarakat (orang miskin atau kelompok orang miskin) selaku penerima bantuan hukum dimaksud, diselenggarakan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) yang secara operasional dilakukan oleh Pemberi Bantuan Hukum, yakni lembaga bantuan hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum (Layanan BH) secara percuma (gratis), dengan syarat:

a.    Mengajukan permohonan secara tertulis (kecuali bagi yang tidak mampu menyusun permohonan secara tertulis);

b.    Menyerahkan dokumen yang terkait dengan pokok perkara;

c.    Melampirkan surat keterangan miskin (Pasal 14 ayat (1) UU Bankum)

Dengan demikian, ibarat gayung bersambut, apa yang Saudara harapkan (bantuan hukum secara percuma) telah diatur dengan undang-undang. Silakan mencari informasi terdekat, di internet, atau menghubungi langsung pengadilan setempat guna mendapatkan (informasi) bantuan hukum yang jelas dengan catatan, bahwa mekanisme bipartit dan mediasi/konsiliasi telah dilalui (sesuai prosedur).

Demikian penjelasan saya, semoga Saudara dapat lebih memahami (dan lebih luas wawasannya) mengenai “outsourcing” serta hak seorang tenaga kerja outsourcing menurut peraturan perundang-undangan, harapan sukses selalu.

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja;

2. Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;

3. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;

4. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep-102/Men/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja.