Ada 3 bandara yang lokasinya merupakan area khusus yang tidak terlayani angkutan umum, yaitu Cengkareng (CGK), Kuala Namu (KNO) dan Lombok Praya (LOP). Jangankan angkutan 24 jam, moda transportasi pun hanya tertentu saja seperti di CGK angkutan menuju Jakarta, Bekasi, Bogor hanya ada Bus Damri sedangkan tujuan Tangerang hanya ada Angkot Satya yang hanya sampai Rawa Bokor.
Sulitnya transportasi umum inilah yang menjadi isu hangat bagi karyawan Gapura Angkasa yang selama ini mendapat bantuan jemputan bus karyawan oleh perusahaan. Rencana penghentian bantuan ini yang menjadi keresahan bagi karyawan pengguna jemputan point to point tersebut.
Ketua Siperkasa CGK, Arief Supriyadi mengatakan,”Jika jemputan bus karyawan dihapus maka secara tidak langsung karyawan harus membawa kendaraan sendiri dan berdampak luas. Tidak hanya kepada Pegawai Tetap namun terhadap karyawan OS yang masuk atau pulang malam hari.”
Dampak yang akan timbul menurut Arief antara lain:
1. Keuangan Karyawan
Dengan tidak adanya jemputan bus maka karyawan mau tidak mau harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk perjalanan ke kantor. Sebagai contoh bagi yang tinggal di Jakarta , tarif Damri Rp. 30.000,- sehingga untuk pergi pulang Rp. 60.000 ditambah angkot atau ojek pp Rp. 20.000 sehingga total Rp. 80.000 x 20 hari kerja menjadi Rp. 1.600.000,-. Sedangkan berapa uang transport karyawan? Belum lagi Damri yang tidak 24 jam sehingga harus naik taksi tentunya pengeluaran karyawan menjadi jauh lebih besar. Apalagi bagi mereka yang tinggal di Bekasi, Depok, Bogor. Di mana efisiensi bagi karyawan?
2. Operasional Pekerjaan
Dengan jauhnya perjalanan dengan kondisi lalu lintas yang selalu macet melalui rute Daan Mogot, Kali Deres dan Rawa Bokor tentunya akan berpengaruh pada jam kehadiran yang sulit diprediksi. Termasuk bagi mereka yang tinggal di Tangerang. Letihnya perjalanan akan mengakibatkan daya konsentrasi karyawan menurun sedangkan resiko pekerjaan sangat tinggi menyangkut safety.
3. Keselamatan Karyawan.
Meskipun jemputan bus merupakan bantuan perusahaan yang bukan hak karyawan, namun karena bandara CGK merupakan wilayah khusus dengan minimnya transportasi umum ini yang dapat menjadi potensi resiko kecelakaan lalu lintas bagi karyawan yang berangkat dan pulang bekerja. Kondisi malam yang gelap dengan kondisi jalan berlubang, cuaca hujan dan letihnya saat pulang bekerja dan harus mengendarai Sepeda motor, semuanya merupakan potensi mengganggu keselamatan dan keamanan karyawan.
Tiga aspek atau dampak utama yang tersebut di atas yang menjadi argumentasi SP CGK dalam merespon kebijakan penghentian bus jemputan pada pertemuan antara Siperkasa Pusat, CGK dan CGO dengan Manajemen Pusat, CGk dan CGO pada har Jum’at 27 Juni 2014 di Ruang HLL Gapura Angkasa CGK.
Angka prediksi 200 pegawai tetap yang dianggap menikmati jemputan tersebut yang disebut jumlahnya sedikit dibanding total pegawai tetap namun angka 200 merupakan angka yang besar jika bicara potensi incident atau operasional, belum lagi ditambah jumlah tenaga OS yang ikut bus jemputan bisa mencapai 400an orang yang juga merupakan tenaga operasional lapangan.
Win Win Solution tetap harus dijunjung untuk kepentingan bersama. Semua harus berdiri di dua pihak demi harmonisasi hubungan industrial antara manajemen dan karyawan. Sehubungan waktu pemutusan bantuan bus tersebut hingga akhir Agustus 2014, dan pihak manajemen tidak dapat melanjutkan maka solusi yang akan diambil yaitu setiap karyawan yang ingin mengadakan bus jemputan maka akan ditarik iuran bulanan baik pegawai tetap maupun OS dengan besaran yang berbeda. dan kekurangannya akan dibantu oleh Perusahaan. Pihak Internal Service akan menginformasikan serta mendata karyawan yang akan ikut jemputan bus ini.
Mungkin juga harus dilakukan audiensi ke Pemerintah Kota Tangerang dan DKI Jakarta untuk penyediaan transpotasi umum dari/ke bandara menuju Jakarta, Depok, Bogor dan Tangerang dari komunitas bandara.